Doa Penghantar Sukses


       “Ida...,” teriakan itu yang setiap pagi melengking.  Pagi-pagi harus sudah bangun untuk pergi ke sekolah, ah, itu suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Jam setengah tujuh, itu sudah pagi menurutku. Akibatnya, semua harus serba terburu-buru. Dengan kekuatan super, Ibu harus mengayuh sepeda menuju sekolah. Melawan terik matahari, melewati sawah dan juga harus berhadapan dengan jalanan yang masih berbatu. 

Hingga, naik ke tingkat sekolah dasar masih sering juga kebiasaan itu terulang. Tiada bosan dan henti-hentinya, Ibu selalu menasehati, “Besok bangunnya lebih awal, biar tidak kena marah Bapak atau Ibu guru di sekolah. Kalau bangunnya pagi, pertanda telah siap untuk menerima ilmu. ” 



Setiap hari, setiap saat, selalu ada nasehat yang Ibu curahkan untukku. Tentang bangun pagi, cara makan, tugas pelajar, tugas anak ketika di rumah dan masih banyak lagi – yang Ibu tiada bosan untuk mengatakan ini yang boleh dilakukan, ini tidak boleh, harus begini dan begitu. Jenuh, bosan, rasanya ingin lari dari percakapan tersebut, hal tersebut yang ingin aku lakukan.

 Melihat Kakakku yang berseragam putih biru menjadi putih abu-abu, aku iri padanya. Aku bercita-cita, bisa sekolah kalau bisa sama, atau paling tidak lebih tinggi dari Kakak. Aku pun berusaha menghitung dengan jari, aku sudah sekolah, dari, Tk sampai SD, sedangkan Kakak, TK, SD, SMP, sampai dengan SMK. Kakak sudah empat levelnya, masak aku hanya dua, itulah yang membuatku mengutarakan keinginanku pada Ibu. Namun, jawaban Ibu, berbeda dari yang kuinginkan. “Kalau hanya sampai SMP mungkin orang tuamu kuat. Tapi, kalau kamu mau ikut sama ajakan saudaramu yang di Solo, kemungkinan kamu akan sekolah tinggi. Kamu bisa jadi orang di sana.”

Maksud dari perkataan Ibu itu apa? Rasanya tidak adil untukku. Kakak bisa di sekolahkan sampai SMK, sedangkan aku hanya dijanjikan sampai SMP. Apa karena Kakak laki-laki dan aku perempuan. Apakah memang sudah nasibnya perempuan yang tinggal di desa harus sekolah rendah, dan lalu menikah. Seperti kebanyakan anak yang sudah lulus SMP, bahkan ada yang lulus SD terus tidak melanjutkan sekolah, beberapa tahun kemudian terus dinikahkan. Bayangan itu, sungguh mengerikan. Di usiaku yang belia, aku membayangkan sesuatu yang tidak sesuai dengan naluriku.

Aku meyakinkan hatiku, dan keputusanku adalah meninggalkan Trenggalek untuk berjuang di Solo. Terasa sedih dan sakit meninggalkan orang tua dan Kakak. Tapi, demi keinginanku yang membumbung tinggi, bismillah

Pertama kali di Solo, rindu sangat pada Ibu, petuah Ibu, masakan, segala aktivitas yang biasa aku lakukan bersamanya. Baru sekarang, aku menyadari bahwa apa yang Ibu nasehatkan itu adalah untuk kebaikanku. Dulu, aku anggap semua seperti angin lalu, tapi, ketika tinggal bersama orang lain, semua harus bisa, tidak ada lagi tangan Ibu yang membantuku untuk mencuci baju, atau mencuci piring. Tidak ada lagi suara-suara yang mengingatkanku tentang bumbu-bumbu yang harus kumasukkan pada sayuran yang aku masak. Semua harus serba mandiri.

Hubungan jarak jauh menjadi pilihan. Saat itu, belum seperti sekarang, anak-anak usia SMP, sudah memegang gadget yang super canggih. Dulu, handphone layar hitam putih pun jarang yang punya. Sangat-sangat jarang karena masih termasuk barang mewah. Doa, doa dan doa itu adalah suatu penghantar supaya rasa rinduku tersampaikan pada Ibu dan segenap keluarga. Supaya rasa rindu ini terobati. Supaya perjalanku menuntut ilmu selalu kuat dan tidak mudah goyah. Hanya saat lebaran tibalah, bisa bertemu dengan keluarga. Kulihat, Ibu tersenyum dan segera menyiapkan makanan kesukaanku. Aku sangat bahagia. 

SMP berhasil aku lalui. SMA aku tuntaskan, hingga keinginanku untuk bisa ke perguruan tinggi pun bisa terlampaui. Ya, semua berkat doa dan dukungan yang tiada terperi dari Ibu dan segenap keluarga. Hingga, saat aku dinyatakan lulus dari perguruan tinggi, kulihat Ibu bahagia dan mengucapkan alhamdulillah anaknya ada yang bisa sekolah sampai perguruan tinggi.Terima kasih, atas semua yang engkau beri, Ibu.


                                                                               ###

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Keluarga Siaga di Era Digital

Review 15 : KASIH BUNDA TIADA HENTI

Resep Nasi Goreng Blue Band ala Mak Hida, Pedas Menggoda dan Suami pun Suka