Doa Penghantar Sukses
Hingga, naik
ke tingkat sekolah dasar masih sering juga kebiasaan itu terulang. Tiada bosan
dan henti-hentinya, Ibu selalu menasehati, “Besok bangunnya lebih awal, biar
tidak kena marah Bapak atau Ibu guru di sekolah. Kalau bangunnya pagi, pertanda
telah siap untuk menerima ilmu. ”
Setiap hari,
setiap saat, selalu ada nasehat yang Ibu curahkan untukku. Tentang bangun pagi,
cara makan, tugas pelajar, tugas anak ketika di rumah dan masih banyak lagi – yang
Ibu tiada bosan untuk mengatakan ini yang boleh dilakukan, ini tidak boleh,
harus begini dan begitu. Jenuh, bosan, rasanya ingin lari dari percakapan
tersebut, hal tersebut yang ingin aku lakukan.
Melihat Kakakku yang berseragam putih biru
menjadi putih abu-abu, aku iri padanya. Aku bercita-cita, bisa sekolah kalau
bisa sama, atau paling tidak lebih tinggi dari Kakak. Aku pun berusaha
menghitung dengan jari, aku sudah sekolah, dari, Tk sampai SD, sedangkan Kakak,
TK, SD, SMP, sampai dengan SMK. Kakak sudah empat levelnya, masak aku hanya
dua, itulah yang membuatku mengutarakan keinginanku pada Ibu. Namun, jawaban
Ibu, berbeda dari yang kuinginkan. “Kalau hanya sampai SMP mungkin orang tuamu
kuat. Tapi, kalau kamu mau ikut sama ajakan saudaramu yang di Solo, kemungkinan
kamu akan sekolah tinggi. Kamu bisa jadi orang di sana.”
Maksud dari
perkataan Ibu itu apa? Rasanya tidak adil untukku. Kakak bisa di sekolahkan
sampai SMK, sedangkan aku hanya dijanjikan sampai SMP. Apa karena Kakak
laki-laki dan aku perempuan. Apakah memang sudah nasibnya perempuan yang
tinggal di desa harus sekolah rendah, dan lalu menikah. Seperti kebanyakan anak
yang sudah lulus SMP, bahkan ada yang lulus SD terus tidak melanjutkan sekolah,
beberapa tahun kemudian terus dinikahkan. Bayangan itu, sungguh mengerikan. Di usiaku
yang belia, aku membayangkan sesuatu yang tidak sesuai dengan naluriku.
Aku meyakinkan
hatiku, dan keputusanku adalah meninggalkan Trenggalek untuk berjuang di Solo. Terasa
sedih dan sakit meninggalkan orang tua dan Kakak. Tapi, demi keinginanku yang
membumbung tinggi, bismillah.
Pertama kali
di Solo, rindu sangat pada Ibu, petuah Ibu, masakan, segala aktivitas yang
biasa aku lakukan bersamanya. Baru sekarang, aku menyadari bahwa apa yang Ibu
nasehatkan itu adalah untuk kebaikanku. Dulu, aku anggap semua seperti angin
lalu, tapi, ketika tinggal bersama orang lain, semua harus bisa, tidak ada lagi
tangan Ibu yang membantuku untuk mencuci baju, atau mencuci piring. Tidak ada
lagi suara-suara yang mengingatkanku tentang bumbu-bumbu yang harus kumasukkan
pada sayuran yang aku masak. Semua harus serba mandiri.
Hubungan jarak
jauh menjadi pilihan. Saat itu, belum seperti sekarang, anak-anak usia SMP, sudah
memegang gadget yang super canggih. Dulu, handphone layar hitam putih pun
jarang yang punya. Sangat-sangat jarang karena masih termasuk barang mewah. Doa,
doa dan doa itu adalah suatu penghantar supaya rasa rinduku tersampaikan pada
Ibu dan segenap keluarga. Supaya rasa rindu ini terobati. Supaya perjalanku
menuntut ilmu selalu kuat dan tidak mudah goyah. Hanya saat lebaran tibalah,
bisa bertemu dengan keluarga. Kulihat, Ibu tersenyum dan segera menyiapkan
makanan kesukaanku. Aku sangat bahagia.
SMP berhasil
aku lalui. SMA aku tuntaskan, hingga keinginanku untuk bisa ke perguruan tinggi
pun bisa terlampaui. Ya, semua berkat doa dan dukungan yang tiada terperi dari
Ibu dan segenap keluarga. Hingga, saat aku dinyatakan lulus dari perguruan
tinggi, kulihat Ibu bahagia dan mengucapkan alhamdulillah anaknya ada
yang bisa sekolah sampai perguruan tinggi.Terima kasih, atas semua yang engkau
beri, Ibu.
Komentar
Posting Komentar