Menjadi Keluarga Siaga di Era Digital
sumber: google.com
Kebanyakan
orang akan sepakat menjawab, bahwa keluarga memiliki kiprah yang besar dalam
usaha orang tua menumbuh kembangkan karakter anak. Orang tua menjadi pondasi
pertama bagi anak-anaknya. Bagaimana pola asuh, penjagaan atau perawatan dan
pendidikan yang telah dipersiapkan sejak dini. Di mana ketika anak masih dalam
kandungan, orang tua sudah siap siaga merancang dan mencari ilmu untuk anak
yang akan hadir dalam kehidupan mereka. Mengapa demikian?
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S An Nisaa (4): 9)
Di
dalam Al-Qur’an surat An Nisaa ayat 9 dijelaskan bahwa janganlah meninggalkan
anak-anak atau para generasi penerus dalam keadaan lemah. Lemah bisa berarti
dalam banyak hal seperti, lemah iman, finansial, eksistensi diri, dan
keterampilan hidup lainnya. (Rianna Wati, S.S., M.A., Hadila Desember 2017)
Sebagai orang tua tentu menginginkan anaknya siap dengan bekal yang cukup. Supaya
kelak ketika anak berhadapan langsung dengan dunia nyata, dunia dengan segala
pernak-perniknya, anak akan yakin dan percaya akan kemampuan diri sendiri.
Tantangan orang tua mendidik tentulah semakin rumit. Di
era sekarang atau yang disebut sebagai era milenial, era yang serba digital
sebagai orang tua haruslah mengetahui metode yang tepat dalam mendidik si buah
hati. Makna kata mendidik itu luas, bukan hanya sekedar meluangkan waktu dan
duduk bersama, memerintah anak harus seperti ini dan seperti ini tanpa adanya
kebebasan yang diberikan, melarang anak berbuat begini dan begitu tanpa
dikomunikasikan terlebih dahulu kepada anak.
Mendidik adalah proses memberi
pengertian kepada si anak agar dapat memahami
lingkungan sekitarnya dan dapat mengembangkan dirinya secara
bertanggung jawab. Hal tersebut bisa diwujudkan dengan pemberian teladan
ataupun komunikasi secara terbuka dan dengan situasi yang rileks atau santai.
Belajar dari pesan moral yang dituturkan oleh Dorothy Law Nolte dengan judul
“Anak Belajar dari Kehidupannya”
Jika
anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar memaki
Jika
anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri
Jika
anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri
Jika
anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai
Jika
anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia akan belajar keadilan
Jika
anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan
Jika
anak dibesarkan dengan dukungan, ia akan belajar menghargai dirinya
Jika
anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan belajar
menemukan cinta dalam kehidupan.
Dari pemaparan di atas, ada
kaitannya antara peran orang tua mendidik dengan hasil yang akan didapat oleh
orang tua. Seperti pepatah yang sering kita dengar “Apa yang ditanam itulah
yang akan dipetik”. Pada hakikatnya peran orang tua dalam mendidik anak tidak
bisa digantikan secara mutlak oleh institusi atau lembaga formal. Karena,
bagaimanapun tugas mendidik anak yang utama ada pada orang tua.
Lembaga-lembaga formal yang ada bertugas
untuk turut serta mendukung supaya anak terkondisikan atau bisa bermasyarakat
sejak dini. Jadi, ketika memasukkan anak ke sekolah-sekolah dengan harapan besar
supaya jadi pintar, tanggung jawab dibebankan pada sekolah formal. Apakah itu
benar? Sedangkan orang tua di rumah tidak ada umpan balik, atau tidak ada kerja
sama, pastilah anak merasa kurang kasih sayang. Anak akan merasa orang tua
pertama adalah sekolah. Sedangkan orang tuanya yang melahirkan dan merawatnya
menjadi orang tua kedua. Hadirnya sebagai pelengkap, bukanlah sebagai menu
utama.
Secara etimologis, keluarga adalah
orang-orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari
suami, istri, dan anak-anak. (Poerwadarminta) Keluarga memiliki peranan yang
sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang
penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi yang sehat. Keluarga juga dipandang sebagai
institusi yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan
bagi pengembangan kepribadian anak dan pengembangan ras manusia. Apabila
mengaitkan peranan keluarga dengan kebutuhan individu dari Maslow, maka
keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, baik
kebutuhan fisik-biologis maupun sosio-psikologisnya. (Syamsu Yusuf)
Keluarga di era sekarang harus update
wawasan informasi dan edukasi terkait perkembangan pendidikan. Anak-anak yang
senantiasa haus akan ilmu, dia akan selalu ingin mencari pengetahuan dari
keingin tahuannya. Alangkah senangnya seorang anak, apabila dia bertanya dan
mendapatkan jawaban. Keluarga menjawab dengan ilmu yang tepat, sikap yang
ramah, bijaksana dan penuh perhatian.
Namun,
menjadi keluarga yang ideal seperti itu bukanlah hal yang sederhana. Buku,
seminar tentang tumbuh kembang anak mudah untuk dijumpai, tetapi menjadi
keluarga yang benar-benar memahami kebutuhan anak membutuhkan proses yang
panjang dan berkelanjutan. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses ini
diantaranya berikut ini:
Pertama, atur waktu. Dengan alasan banyaknya tugas, harus bekerja,
sosialisasi dengan tetangga, saudara, klien membuat orang tua membiarkan anak
sendiri di rumah yang pada akhirnya anak akan bermain gawai dengan leluasa
tanpa pengawasan. Inilah awal mula di mana anak akan merasa bahwa tidak ada
yang membimbingnya untuk memahami tumbuh kembangnya. Anak akan mencari
dunianya, belajar, bermain, mencari teman, semua dilakukan dengan gawai. Gawai
menjadi benda penting dalam hidupnya.
Namun,
ketika orang tua paham akan makna golden age period dan tanggung
jawabnya selaku orang tua, maka, kreatif dan pintar dalam mengatur waktu akan
menjadi solusi. Secapek dan sesibuk apapun, anak adalah yang utama untuk
diperhatikan dan didampingi.
Kedua,
pilih trik atau metode mendidik yang tepat. Tinggal satu rumah,
terbiasa berkomunikasi dan bersosialisasi tentunya membuat orang tua memahami
karakter anak, hal tersebut tentunya memermudah menemukan metode mendidik yang
tepat. Menurut Howard Gardner ada delapan kecerdasan yang dimiliki manusia.
1. Kecerdasan
Linguistik (kemampuan pada kata (verbal))
2. Kecerdasan
Logik Matematik (Kemampuan memecahkan masalah secara logis)
3. Kecerdasan
Visual dan Spasial (Kemampuan dalam melihat dan mengamati secara akurat)
4. Kecerdasan
musik
5. Kecerdasan
Interpersonal (Kemampuan memahami orang lain)
6. Kecerdasan
Intrapersonal (Kemampuan memahami diri sendiri)
7. Kecerdasan
Kinestetik (Kemampuan pada olah tubuh)
8. Kecerdasan
Naturalis (Kemampuan mengidentifikasi lingkungan)
Setelah diketahui manakah kecerdasan
yang dominan, tugas orang tua adalah mendukung dan memfasilitasi supaya lebih
terarah. Misalnya, anak dominan linguistiknya, tentunya dia suka dengan
membaca, menulis, dan juga berkisah. Trik atau metode yang bisa diberikan
adalah disediakan buku di sudut-sudut rumah. Ketika orang tua membiasakan diri untuk
membaca. Anak akan terdorong untuk meniru. Bila anak terbiasa melihat orang
tuanya membaca, maka akan terciptalah keluarga yang suka membaca.
Di saat anak membaca, orang tua
mendampingi, melihat bacaan yang dibaca, menjelaskan manakala ada yang belum
dipahami, ataupun ketika anak baru mulai belajar membaca inilah saatnya untuk
telaten atau giat-giatnya melatihnya membaca setiap harinya. Karena anak adalah
ilmu pengetahuan yang bergerak. Seperti yang disampaikan pada artikel ‘Anak: Ilmu Pengetahuan yang Terus Bergerak’ di mana anak, terus mempelajari
ilmu dan akan terus diingatnya. Daya ingat anak luar biasa tajamnya.
Ketiga, upgrade pengetahuan
mengenai dunia digital. Ini adalah hal penting untuk masa sekarang.
Perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin pesat membuat era sekarang
serba digital. Mulai anak yang masih kecil sudah dipegangi gawai. Apabila orang
tua hanya melihatnya bermain gawai tanpa ada pengawasan, sekedar percaya bahwa
anak akan menggunakannya dalam hal mencari tugas sekolah atau hanya bermain
game yang tidak berbahaya, lalu orang tua lepas tangan dari dunia digital. Padahal,
kejahatan di dunia digital sangat marak dan siap mengintai anak-anak yang tanpa
adanya pendampingan. Anak akan mudah terjerumus, mengikuti arus yang sedang
tren, tanpa mempertimbangkan baik buruknya.
Orang tua dengan kebijaksanaannya
membagi waktunya untuk sama-sama belajar perkembangan digital yang semakin
pesat ini. Bukan untuk pamer, gaya-gayaan, ataupun sekedar ikutan tren masa
kini. Namun, belajar digital yang terpenting adalah untuk mengontrol dan
mendampingi gerak laku anak. Dengan harapan
antara orang tua dan anak bisa saling nyambung, jadi anak akan merasa punya
teman ketika di rumah. Hal ini akan menimbulkan rasa ‘betah’ di kala di rumah.
Keempat, Doa. Doa adalah jembatan antara Sang Khalik dan makhluknya. Rasa
tawakal orang tua dalam mendidik anaknya dilakukan dengan secara terus menerus
untuk mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Supaya anak-anaknya tumbuh dan
berkembang atas ridho dari Yang Maha Pengatur alam jagad raya ini. #sahabatkeluarga
###
Komentar
Posting Komentar